06 October, 2008

Laskar Pelangi

Saya baru berkesempatan menonton Laskar Pelangi setelah film itu ditayangkan lebih dari seminggu di Medan. Tadinya saya pikir kalau menonton di hari Jumat jam 8.30 pm dan bukan di 21 maka jumlah penonton sudah bisa dihitung dengan jari. Dan ternyata saya salah besar, bioskop yang berada di plaza paling dekat rumah saya itu ternyata penuh. Tak ada yang kosong, bahkan deretan paling depan yang harus menderitapun tetap diduduki orang-orang yang rela menengadah dan pulangnya pasti agak pusing-pusing.

Dan separuhnya diisi oleh anak-anak usia SD, deretan sebelah kanan saya kedua orang tua yang membawa tiga anaknya, dan sebelah kanan ditempati dua anak yang menonton bersama papanya. Seperti rekreasi keluarga. Lebih banyak anak-anak dari pada waktu saya nonton Kungfu Panda, jadi teringat jaman masih SD dulu nonton film Santa Klaus atau Pemberontakan G 30S PKI yang diwajibkan dari sekolah.


Hayyuuk..
Sebelumnya saya sudah membaca buku Andrea Hirata itu, Laskar Pelangi, Sang Pemimpi dan Edensor. Lebih dari satu kali untuk tiap buku, saya tidak pernah membaca buku yang menarik satu atau dua kali, harus berkali-kali, jadi cukup tahulah saya tentang ceritanya. Sebelumnya juga sudah baca ulasan bahwa ada yang berbeda di film ini, yah terserah mbak Mira Lesmana, orang yang nulis Andrea Hirata saja sudah bilang ‘ini merupakan skenario yang paling sesuai menurutnya’, kalau yang nulis sudah berpendapat seperti itu, saya sih ngangguk-ngangguk aja deh..

Baca contekan dari website 21cineplex ttg Ada Tokoh Baru di Laskar Pelangi

Pengadaptasian novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata ke layar lebar oleh Miles Film, kini tengah memasuki tahapan produksi. Dan sudah dipastikan oleh Mira Lesmana selaku produser film ini bahwa, akan ada perbedaan di antara novel dan filmnya. Dengan kata lain, ada hal-hal yang tidak terdapat di novel namun ada di film, dan ada hal yang tidak terdapat di film, namun ada di dalam novel.

Salah satu perbedaannya adalah adanya penambahan tokoh-tokoh yang tidak ada di novel. “Sebenarnya supaya lebih membantu, karena kalau dalam penulisan skenario itu ada hukum dramanya, dan kita membutuhkan tokoh-tokoh yang bisa mengangkat dramanya,” jelas Mira Lesmana yang ditemui dalam acara press briefieng film Laskar Pelangi beberapa waktu lalu di Jakarta.


Ditambahkan oleh wanita kelahiran Jakarta 8 Agustus 1964 ini, bahwa ia tidak hanya asal memunculkan satu tokoh baru yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan cerita yang ada di novel. “Penambahan tokoh di sini untuk lebih membangkitkan nilai dramanya, dan itu saya coba menampilkan satu tokoh yang merupakan guru dari SDN, sebagai pembanding dengan guru Muhammaddiyah, dan itu akan lebih memperkuat drama,” tutur adik dari musisi Indra Lesmana ini.

Mira memberikan satu contoh lain. Ketika ia berbincang-bincang dengan Bu Mus (seorang guru yang diceritakan di dalam novel), Mira mendapatkan fakta menarik bahwa ternyata SD Muhammaddiyah tersebut bisa tetap berdiri karena bantuan dari seorang dermawan. ”Namanya Pak Zulkarnaen. Diceritakan oleh Bu Mus dia adalah orang yang sering memberikan beras atau apapun, yang di dalam film akan diperankan oleh Slamet Rahardjo, dan ini juga tidak ada di novel,” tambah wanita yang aktif di dalam gerakan MFI ini.
Namun dengan adanya perbedaan di antara novel dan film, Mira mengharapkan setelah orang menonton filmnya, akan tergerak untuk juga membaca novelnya.

Seperti novel-novel yang dibuat menjadi film pada umumnya, kita selalu disajikan other view point, beberapa pengembangan dan pengurangan cerita, bumbu disana sini dan olahan visualisasi lainnya. Buku hanya menyajikan teks, dengan untaian kata-kata menurut satu orang sang penulis, sementara film melibatkan banyak hal mulai dari sumber cerita, penulis skenario dan bintang filmnya.

Sayangnya filmnya tidak semenarik bukunya.

Saya pertamakali kecewa karena tokoh Lintang ke sekolah tidak ditemani oleh ayahnya ‘pria cemara angin itu’, saya juga semakin sedih melihat buku dan pensil yang dibawa Lintang itu benar. Di versi buku dia membawa buku tulis yang digunakan untuk menulis elok (tegak sambung) dan pensil besar yang berwarna biru dan merah, yang biasa digunakan tukang jahit. Ayahnya tidak tahu buku dan pensil yang digunakan untuk sekolah, tapi dia berusaha keras agar anaknya sekolah, dan mengantarnya walaupun harus tidak melaut. Sepertinya versi film mengurangi bobot kebesaran jiwa dan kemauan keras orang tua.

Memang di film yang seharusnya berdurasi 150 menit banyak mengurangi gaya metafora ciri khas penulisan Andrea Hirata, seperti pada episode karnaval, versi film lebih realis menyajikannya. Dan itupun tetap membuat tawa penonton membahana, saya tidak bisa membayangkan kalau Mira Lesmana menyajikannya seperti di novel berikut kata-katanya, mungkin saya bisa guling-guling di lantai bioskop.


Episode Flo hilang yang muncul sekejap buat bingung, yah mungkin karena sudah baca saya ngerti aja kali ya tapi buat yang belum pernah nonton seperti adik saya, dia cukup menerimanya sebagai informasi saja. Dan cerita tentang Tuk Bayan Tula sang dukun itu juga hanya sekedar-sekedar saja, heran deh.. Jadi plot cerita kadang ga jelas..

Saya tidak berkeberatan dengan penambahan tokoh Pak Zulkarnaen, tetapi saya tidak melihat perlunya tokoh Mahmud yang diperankan Tora Sudiro. Di bukunya ada tokoh Ibu yang mengajar di PN, yang selalu bercerita tentang sekolahnya melulu, cukuplah cerita Ikal dan Aling saja, kalau sudah ada dua romansa berlebihan. Tokoh ibu Mus terlalu banyak mengkonsumsi alur cerita, dan di buku juga kepala sekolahnya ga meninggal.. Ibu gurunya tidak berdukacita hingga sempat tidak mengajar, Lintang juga tidak mengajar teman-temannya namun bagian ini semangat anak-anak belajar itu terekspos dengan cemerlang..

Aling bukan ngasih kotak, si buaya juga ga begitu pasnya menghalangi waktu mau cerdas tangkas, Lintang juga jauh lebih pinter dari di film, Mahar jauh lebih lucu n dst huehe..

Ah sudahlah seperti kata sang produser diatas, biar penonton tertarik baca bukunya.
Dan percayalah, bukunya memang jauh lebih menarik, tapi lagu Laskar Pelangi Nidjinya cukup kerenlah..

mimpi adalah kunci
untuk kita menaklukkan dunia
berlarilah tanpa lelah sampai engkau meraihnya

laskar pelangi
takkan terikat waktu
bebaskan mimpimu di angkasa
warnai bintang di jiwa

menarilah dan terus tertawa
walau dunia tak seindah surga
bersyukurlah pada yang kuasa
cinta kita di dunia .. selamanya

cinta kepada hidup
memberikan senyuman abadi
walau hidup kadang tak adil
tapi cinta lengkapi kita

laskar pelangi
takkan terikat waktu
jangan berhenti mewarnai
jutaan mimpi di bumi

berlarilah tanpa lelah sampai engkau meraihnya

laskar pelangi
takkan terikat waktu
bebaskan mimpimu di angkasa
warnai bintang di jiwa

menarilah dan terus tertawa
walau dunia tak seindah surga
bersyukurlah pada yang kuasa
cinta kita di dunia .. selamanya

No comments:

Post a Comment

the cool visitor said :